Menakar Rasionalitas Kejaksaan dalam Pengelolaan Aset Sitaan PT PAL


Senin, 01 Desember 2025 - 12:40:59 WIB - Dibaca: 81 kali

Roland Pramudiansya Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Provinsi Jambi. / HALOSUMATERA.COM

Analisa oleh Roland Pramudiansya Ketua Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (PERMAHI) Provinsi Jambi

Di tengah hiruk pikuk dinamika penegakan hukum yang terus bergerak, publik sering kali hanya melihat hasil akhir seperti penetapan tersangka, penahanan, atau putusan majelis hakim. Namun di balik satu tindakan hukum, selalu ada dasar normatif, ukuran profesional, serta standar objektivitas yang dapat diuji. Tulisan ini berdiri pada kerangka tersebut bukan sebagai juru bicara institusi mana pun, tetapi sebagai hasil pembacaan independen atas hukum acara pidana, doktrin hukum, yurisprudensi, dan pola penindakan di berbagai perkara yang memiliki kesamaan fakta hukum.

Kejaksaan, sebagai dominus litis, memiliki mandat Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Kejaksaan untuk melakukan penyidikan pada tindak pidana tertentu. Dalam konteks itu, hukum memerintahkan bahwa setiap tindakan harus melalui tiga syarat utama: (1) kecukupan bukti, (2) legalitas tindakan, dan (3) proporsionalitas. Standar ini ditegaskan dalam putusan-putusan kunci seperti Putusan MA No. 153 K/Pid.Sus/2013, Putusan MA No. 1144 K/Pid.Sus/2015, dan beberapa putusan lain yang menekankan bahwa tindakan penyidik harus selalu dapat diuji rasionalitas hukumnya.

Penegakan hukum tidak bekerja di ruang kosong. Ia bergerak mengikuti rute yang dibatasi KUHAP, Undang-Undang Kejaksaan, doktrin yurisprudensi, serta prinsip kehati-hatian yang telah menjadi standar etik bagi setiap aparat penegak hukum. Karena itu, setiap tindakan penyidik termasuk penyitaan dan pemanfaatan barang bukti tidak boleh dibaca sebagai manuver subjektif, melainkan sebagai konsekuensi logis dari hukum acara pidana.

Tulisan ini disusun bukan sebagai pembelaan institusi mana pun. Saya bukan humas Kejaksaan, bukan corong PT MMJ, dan bukan pula juru bicara PT PAL. Ini adalah pembacaan hukum yang independen: menganalisis apa yang seharusnya, apa dasarnya, dan bagaimana praktik lembaga lain melakukan tindakan identik tanpa menuai salah tafsir publik.

Penyitaan bukan tindakan suka-suka. Ia adalah perintah undang-undang. Pasal 39 ayat (1) KUHAP mengatur bahwa barang yang diduga diperoleh dari tindak pidana atau dipakai untuk melakukan tindak pidana dapat disita.

Lalu bagaimana pemanfaatannya?

Tidak semua publik memahami bahwa KUHAP memberi dasar tegas, ketika saya memahami Pasal 45 KUHAP, bahwa Barang Bukti Boleh Dipinjamkan untuk Kepentingan Publik atau Pemiliknya, Dengan Syarat Tertentu.

Bunyi norma inti pasal itu adalah “Benda sitaan dapat dipinjamkan kepada yang berkepentingan apabila hal itu diperlukan untuk kepentingan tertentu dan tidak menghilangkan fungsi pembuktian.”

Ini penting bahwa pemanfaatan aset sitaan secara terbatas tidak hanya diperbolehkan, tetapi telah menjadi praktik hukum acara yang sah.

Karena itu, ketika aset PT PAL dikelola atau dioperasionalkan secara terbatas pasca penyitaan, tindakan tersebut tidak melanggar KUHAP sepanjang fungsi pembuktian tidak rusak dan tidak mengurangi nilai barang bukti.

Yurisprudensi bahkan menguatkan hal ini. Putusan MA No. 153 K/Pid.Sus/2013 dan Putusan MA No. 1144 K/Pid.Sus/2015 sama-sama menegaskan dua prinsip:

1. Penyidik wajib menjamin barang bukti berada dalam keadaan terjaga dan tidak menurunkan nilai ekonomisnya.

2. Penguasaan oleh penyidik bukan berarti barang tidak boleh digunakan sepanjang tidak mengganggu pembuktian.

Inilah yang dilupakan sebagian orang yang mempersoalkan PT PAL, mereka keliru memaknai penyitaan sama seperti penghentian total operasional, padahal hukum acara tidak pernah memerintahkan demikian.

Secara normatif, setiap tindakan penyidik wajib memenuhi tiga syarat:

 1. Kecukupan bukti (Pasal 184 KUHAP).

 2. Legalitas tindakan (Pasal 1 angka 16 KUHAP tentang tindakan penyidikan).

 3. Proporsionalitas dan akuntabilitas (asas equality before the law dalam Pasal 27 UUD 1945 serta asas due process of law).

Ketiga syarat ini juga lah yang dievaluasi publik terhadap Kejaksaan dalam kasus PT PAL. Namun bila ditarik secara dogmatis, penyitaan dan pengelolaan aset itu justru berada dalam rel hukum positif, bukan di luar rel.

Saya kira untuk memahami lanskap hukum Jambi hari ini, tidak adil jika mengabaikan fondasi yang dibangun oleh Kajati Jambi sebelumnya. Di internal Kejaksaan, dikenal sebagai salah satu dari sedikit Kajati di Indonesia yang memiliki kompetensi mendalam dalam hukum perbankan sebuah kekhususan yang jarang dimiliki pejabat setingkatnya.

Keahliannya dalam banking law bukan sekadar gelar akademik, tetapi diakui melalui penanganan perkara-perkara rumit yang melibatkan skema keuangan, rekayasa transaksi, hingga analisis pergerakan dana lintas rekening. Dalam banyak yurisprudensi Tipikor, pemahaman detail terhadap pola transaksi ini menjadi kunci mengungkap mens rea dan kerugian negara. Bahwa Jambi pernah berada dalam era penegakan hukum yang berorientasi pada presisi analisis finansial adalah bagian dari warisan Kajati Jambi yang saat ini menjabat sbg Kajati Jabar.

Demikian pula dengan Kajari Jambi, saat itu menjabat Aspidsus. Track recordnya menunjukkan kecermatan dalam konstruksi hukum, khususnya dalam meminimalkan risiko error in persona atau overcriminalization yaitu dua problem klasik dalam penindakan Tipikor yang kerap mengundang kontroversi.

Keduanya mewakili model kepemimpinan teknokratis yakni tidak gaduh, tetapi berbasis data, bukti, dan kerangka prosedural yang rapi.

Agar publik tidak terjebak dalam asumsi yang menyesatkan, saya sertakan perbandingan konkret dari lembaga lain: Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Kasusnya jelas, Rumah Sakit Reysa (Resya) Cikedung, Kabupaten Indramayu

1. Bahwa RS tsb Disita KPK dalam perkara Rohadi

2. ?Bahwa Status hukumnya merupakan barang bukti Tipikor

3. ?Namun… RS tidak dibiarkan kosong atau berhenti beroperasi.

Justru KPK meminjam pakaikan aset sitaan itu kepada Pemkab Indramayu untuk kepentingan publik dalam masa pandemi Covid-19.

Dan siapa pejabat yang memimpin kebijakan ini? Plt Direktur Penuntutan KPK kala itu. Beliau lah yang menyerahkan RS Reysa ke Pemkab Indramayu dengan status pinjam pakai, sembari menegaskan,

“Silakan manfaatkan untuk kepentingan masyarakat Indramayu. Statusnya tetap barang bukti dan tidak menghilangkan proses hukum.” Plt Direktur KPK

Preseden ini sangat penting karena membuktikan;

 1. Penyitaan tidak otomatis melarang pemanfaatan terbatas barang bukti.

 2. Pengelolaan aset sitaan untuk kepentingan publik adalah tindakan sah dan beralasan hukum.

 3. Kejaksaan tidak “aneh” atau “melenceng” ketika melakukan pola serupa pada aset PT PAL.

Jika KPK yang selama ini dianggap paling ketat terhadap prosedur penindakan saja melakukan mekanisme yang sama, tuduhan terhadap Kejaksaan dalam kasus PT PAL menjadi tidak berdasar dan tidak memiliki pijakan hukum acara.

Masalah utama dalam polemik PT PAL adalah kesalahpahaman publik yang menyamakan bahwa kalau “disita” sama dengan “harus berhenti total dan dikunci mati.”

Padahal hukum acara pidana tidak pernah mengatur demikian. Justru dalam Putusan MA No. 1261 K/Pid/2006 ditegaskan bahwa penyidik yang menunda penindakan atau tidak mengamankan barang bukti dengan cepat dapat dianggap melanggar asas celerity yakni asas kecepatan yang menjadi bagian dari due process.

Artinya, bahwa Penyidik wajib bertindak cepat bila syarat bukti telah terpenuhi. Penundaan justru berpotensi melawan hukum.

Apa yang dilakukan Kejaksaan terhadap PT PAL bukan anomali, bukan langkah politis, bukan pula tindakan anti-populis. Ia berdiri di atas:

1. Pasal 39 dan Pasal 45 KUHAP

2. ?UU Kejaksaan

3. ?Yurisprudensi Mahkamah Agung

4. ?Preseden lembaga lain (sitaan KPK terhadap RS Reysa)

5. ?Standar kecukupan bukti dan proporsionalitas

Penegakan hukum memang harus diawasi. Tetapi pengawasan harus bersandar pada norma, bukan asumsi.

Sebagai mahasiswa hukum dan Ketua PERMAHI Jambi, tugas saya adalah menjaga nalar publik agar tetap berada dalam orbit hukum positif bahwa mengkritik bila ada cacat, mengapresiasi bila ada konsistensi, dan menolak setiap framing yang tidak paham dasar hukum acara.

Karena penegakan hukum yang bersih lahir dari dua hal, pertama integritas aparatnya, kemudian kedua kecerdasan publiknya dalam membaca hukum. Dan hari ini, kita punya kewajiban untuk menjaga keduanya.(*)




Komentar Anda



Terkini Lainnya

Menelaah Putusan MK: Anggota Polri Menduduki Jabatan di Luar Kepolisian

Oleh : Dr. Arfa’i,S.H.,M.H - Dosen Hukum Tata Negara FH Univ Jambi Polri dan Jabatan Sipil Berbasis Penegakan Hukum : Harmonisasi UU Polri, ASN dan Putus

Opini

Putusan MK Bukan Larangan Total: Polri Tetap Boleh Menduduki Jabatan Sipil Berbasis Penegakan Hukum

Oleh : Assist Prof. Mochammad Farisi, LL.M Dosen Fakultas Hukum UNJA MK hanya melarang Polri aktif menduduki jabatan sipil administratif. Jabatan sipil yang b

Opini

Strategi Penyelidikan dan Pengamanan Distribusi Pupuk Bersubsidi di Provinsi Jambi

JAMBI – Alokasi pupuk subsidi di Provinsi Jambi perlu mendapat pengawasan yang ekstra, agar tidak diselewengkan oleh oknum tertentu. Diperlukan strategi y

Opini

Dari Sabu hingga Ponsel Dimusnahkan di Kejari Muaro Jambi

MUARO JAMBI - Kejaksaan Negeri (Kejari) Muaro Jambi memusnahkan barang bukti tindak pidana kejahatan yang telah berkekuatan tetap atau inkrah. Pemusnahan barang

Berita Daerah

Bupati Anwar Sadat Hadiri Pisah Sambut Kepala Kejaksaan Tinggi Jambi

JAMBI – Masa bhakti Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jambi, Dr. Hermon Dekristo, S.H., M.H., resmi berakhir dan digantikan oleh Sugeng Hariadi, S.H., M.H.. Se

Advertorial


Advertisement