Dalam beberapa tahun terakhir, wajah politik hukum Indonesia memperlihatkan arah yang mengkhawatirkan. Di tengah sistem demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi publik dan transparansi dalam pembentukan kebijakan, praktik legislasi justru menunjukkan gejala yang berlawanan. Sejumlah undang-undang penting disahkan dengan proses yang terburu-buru, tertutup, dan minim ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi. Fenomena ini menandakan bahwa demokrasi prosedural kita masih berjalan, namun semangat substantifnya, yakni keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan hukum perlahan kian memudar.
Oleh: Adjie Pramana Sukma, S.H – DPC PERMAHI JAMBI
Salah satu contohnya terlihat pada Undang-Undang Nomor 64 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Pembahasan dan pengesahan undang-undang ini dilakukan secara cepat dan tertutup, tanpa konsultasi publik yang memadai. Padahal, perubahan lembaga strategis seperti Wantimpres seharusnya melibatkan pandangan masyarakat sipil dan pakar kebijakan publik. Ketiadaan partisipasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar:
"Untuk siapa hukum dibentuk, rakyat atau kekuasaan?"
Hal serupa terjadi pada Undang-Undang Nomor 61 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Revisi ini disahkan menjelang akhir masa pemerintahan tanpa sosialisasi yang transparan. Prosesnya dinilai terburu-buru, seolah dikejar waktu politik, bukan kebutuhan publik. Situasi ini memperlihatkan bahwa pembentukan hukum telah bergeser dari prinsip good governance menuju logika kekuasaan yang pragmatis.
Krisis serupa juga tampak dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU Mahkamah Konstitusi (MK). Revisi ini disahkan secara mendadak tanpa ruang pembahasan yang wajar, menimbulkan kekhawatiran terhadap independensi lembaga peradilan tertinggi di negeri ini. Padahal, MK seharusnya menjadi benteng terakhir konstitusi, bukan bagian dari dinamika politik kekuasaan.
Tidak berhenti di situ, publik tentu masih mengingat kontroversi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja. Meskipun sudah dikoreksi oleh Mahkamah Konstitusi, proses pembentukannya tetap mengabaikan prinsip meaningful participation. Hukum yang dihasilkan bukan lagi refleksi aspirasi masyarakat, melainkan cermin dari kepentingan ekonomi dan politik elit.
Sementara itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) memperlihatkan kecenderungan serupa. Meskipun dibungkus dengan semangat “pembaruan hukum nasional”, proses pembahasannya minim keterlibatan publik dan diwarnai kritik dari masyarakat sipil, terutama terhadap pasal-pasal yang berpotensi mengancam kebebasan berekspresi dan berdemokrasi.
Tak ketinggalan, rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) juga menimbulkan tanda tanya besar. Meskipun masih berstatus RUU, pembahasannya dilakukan secara tertutup dan minim transparansi. Publik khawatir revisi ini nantinya akan memperluas peran militer dalam ranah sipil, yang mana ini merupakan sebuah langkah mundur dalam demokrasi pasca-Reformasi.
Puncaknya, gejala serupa telah lebih dulu terlihat sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Revisi tersebut menjadi simbol paling gamblang dari bagaimana politik hukum dijadikan instrumen untuk melemahkan lembaga pengawas kekuasaan. Hukum, yang seharusnya menjadi benteng keadilan, justru berbalik arah menjadi alat pembenaran politik.
Kecenderungan ini menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia tengah mengalami krisis responsivitas. Teori Nonet dan Selznick tentang hukum responsif menegaskan, bahwa hukum yang baik adalah hukum yang tumbuh dari kebutuhan masyarakat, bukan hasil rekayasa elit. Namun, berbagai produk hukum belakangan justru menunjukkan bahwa suara publik dipinggirkan, sementara kekuasaan politik semakin dominan dalam menentukan arah hukum nasional.
Ketika partisipasi publik dilemahkan dan proses legislasi dijalankan tanpa keterbukaan, maka demokrasi kehilangan jiwanya. Hukum tak lagi menjadi alat keadilan, melainkan sekadar instrumen legitimasi kekuasaan. Kondisi ini berbahaya, karena tanpa partisipasi rakyat, hukum kehilangan legitimasi moral dan sosialnya.
Politik hukum yang ideal seharusnya mampu menjadi jembatan antara kekuasaan dan rakyat, bukan sekadar corong dari kepentingan penguasa. Oleh karena itu, pembaruan politik hukum ke depan harus diarahkan untuk memperkuat transparansi, memperluas partisipasi, dan memastikan bahwa setiap undang-undang benar-benar lahir dari kebutuhan masyarakat. Hanya dengan begitu, hukum dapat kembali menjadi alat keadilan, bukan alat kekuasaan.
TANJABBAR – Dalam upaya memperkuat jalinan komunikasi antara wakil rakyat dan masyarakat, Ketua Komisi III (Tiga) DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Ba
TANJABBAR – Anggota DPRD Tanjabbar Daerah Pemilihan (Dapil) II, yang meliputi Kecamatan Betara dan Kuala Betara, Albert Chaniago, SP, menggelar kegiatan reses
TANJABBAR – Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat), Hamdani, SE, menghadiri Haul Akbar Syekh Abdul Qadi
TANJABBAR – Upacara Peringatan Hari Kesaktian Pancasila yang digelar di Halaman Kantor Bupati Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat), Rabu (1/10/2025), berlangsu
TANJABBAR – DPRD Kabupaten Tanjung Jabung Barat (Tanjab Barat) bersama Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanjab Barat resmi menandatangani Rancangan Peraturan Dae