Aksi di Kantor DPRD Provinsi Jambi, Mahasiswa Tolak Omnibus Law


Kamis, 08 Oktober 2020 - WIB - Dibaca: 761 kali

Aksi Mahasiswa di Kantor DPRD Provinsi Jambi. / HALOSUMATERA.COM

JAMBI (halosumatera.com) - Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Jambi melakukan aski unjuk rasa di depan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Jambi, Kamis (8/10/2020).

Aksi tersebut dilakukan ialah untuk menyampaikan orasi terkait penolakan Omnibus Law pengesahan RUU Cipta Kerja.

Dalam realesenya yang diterima beritajambi.co media partner halosumatera.com, Ketua DPC GMNI Jambi, Eldaniel mengatakan, sikap penolakan tersebut telah melewati proses diskusi dan konsolidasi Internal DPC GMNI Jambi maupun Komunikasi dua arah bersama DPP GMNI.

"Adapun yang menjadi latar belakang, aturan tersebut dinilai terkesan membuat eksploitatif terhadap barisan rakyat. Omnibus law sebagai metode pembentukan undang-undang baru, terkhusus dalam proses pembentukan UU Cipta Kerja dirancang untuk memberikan kemudahan bagi investor agar semakin tertarik untuk datang ke Indonesia sangat disayangkan karena telah mengebiri peraturan
perundang-undangan terdahulu yang dihasilkan melalui perjuangan panjang kelompok kepentingan yang peduli kepada rakyat kecil.

Atas hal itu, GMNI Jambi menyatakan sikap sebagai berikut:

1. Muatan pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja sangat bernuansa eksploitatif di seluruh sektor ekonomi. Terutama sektor pertanian, peternakan, perkebunan, kehutanan, perikanan dan kelautan serta ketenagakerjaan. Seolah-olah ada ambisi besar memperoleh puja-puji asing dengan predikat negara maju yang sesungguhnya tidak menyasar pada kenyataan
sosial di akar rumput. Melambungnya nama Indonesia di kancah Internasional ibarat
jebakan asing demi melenakan bangsa ini agar mudah terhanyut dalam pusaran
ketergantungan yang kian dalam terhadap skema ekonomi kapitalistik dan fundamentalisme pasar. Hal ini pun jauh panggang dari api bila dikaitkan dengan spirit Ekonomi Pancasila yang seharusnya menjadi pegangan pemerintah dalam membingkai kebijakan dan perancangan undang-undang baru. Salah satu poin Trisakti Pancasila adalah berdiri di atas
kaki sendiri (berdikari) dalam bidang ekonomi.

2. Ruang impor komoditas dan produk tani dibuka lebar-lebar. Kami menyayangkan usulan revisi pasal 15 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani disebutkan bahwa Pemerintah "TAK LAGI berkewajiban"
mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan Nasional. Kami benar-benar menyayangkan saat mengetahui revisi pasal ini didasarkan pada usulan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang jelas-jelas membawa agenda pasar  bebas dan mengabaikan perlindungan petani.

3. Di sektor perkebunan, modal asing diberikan ruang lebar-lebar untuk masuk, dengan alasan lebih bermanfaat. Hal ini tertulis jelas dalam usulan revisi pasal 95 Undang,-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dimana besaran penanaman modal asing (ayat 3), batasan penanaman modal asing berdasarkan jenis tanaman Perkebunan, skala usaha, dan kondisi wilayah tertentu (ayat 4) DIHAPUSKAN. Kami sangat menyayangkan salah satu alasan pasal ini diusulkan karena perkebunan rakyat dianggap 
kurang bermanfaat oleh pemerintah.

4. Ruang impor komoditas dan produk perikanan dan pergaraman dibuka lebar-lebar. Seperti tertulis dalam usulan revisi pasal 37, pasal 38 dan pasal 74 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam dimana frasa pelarangan dan sanksi administratif bagi orang yang melakukan impor DIHAPUSKAN. Kami menyayangkan alasan pemerintah bahwa revisi ini diperlukan mempermudah ketersediaan bahan baku impor yang ditetapkan sektor industri. Padahal sebagai negara maritim, seharusnya Indonesia bisa mencapai swasembada komoditas dan produk-produk perikanan dan produk-produk lain yang “dihasilkan oleh
laut”.

5. Eksistensi hutan lindung terancam. Sebagaimana diketahui, pengusahaan pertambangan dan energi (terutama batubara, panas bumi dan hidro) seringkali berbenturan dengan eksistensi hutan lindung. Dalam usulan revisi pasal 26 Undang-Undang Nomor 41 Tahun
1999 Tentang Kehutanan, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan dapat dilakukan di hutan
lindung dan hutan produksi dengan pemberian perizinan berusaha dari Pemerintah. Frasa ini membuat izin pemanfaatan hutan lindung menjadi lebih fleksibel, tak lagi terbatas seperti dalam pasal sebelumnya. Kami khawatir usulan pasal ini berpotensi disalahgunakan
di kemudian hari, memberikan akses luas kepada pengusahaan pertambangan batubara, panas bumi dan hidro yang berdampak pada konflik laten agraria antara perusahaan dan masyarakat (terutama masyarakat adat) yang tinggal di sekitar hutan lindung.

6. Eksploitasi besar-besaran di sektor pertambangan. Salah satu usulan pasal yang kami soroti adalah Pasal 47 Ayat (7) dan Ayat (8) serta Pasal 83 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara dimana perusahaan tambang batubara dan mineral yang terintegrasi dengan kegiatan pengolahan dan pemurnian (smelter) mendapat perizinan yang tak terbatas atau bisa diperpanjang seumur tambang, dengan kata lain bisa sampai kandungan yang ditambang tersebut habis. Kami sangat menyayangkan hal ini karena lagi-lagi tak sesuai dengan prinsip Ekonomi Pancasila:
berkelanjutan.

7. Metode Omnibus Law bertentangan dengan metode pembentukan suatu undang-undang di Indonesia. Dalam RUU Cipta Kerja berlaku tiga hal yaitu pengubahan,penghapusan dan penambahan muatan-muatan beberapa undang-undang. Ketiga hal tersebut masuk dalam metode perubahan suatu undang-undang. Menurut penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 15 Tahun 2019, suatu undang-undang yang dibentuk untuk mengubah muatan undang-undang lain secara
konvensi kenegaraan: undang- undang dengan tema yang sama dan judul undang-undang itu tetap sama- haruslah menambahkan kata “perubahan”. Seolah-olah undang-undang baru, dengan demikian hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan pembentukan undang-undang yang berlaku di Indonesia.

8. DPC GMNI Jambi dengan tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Karya.

Pantauan di lapangan, saat ini aksi tersebut masyarakat masih berlangsung, dan aksi mahasiswa ini disambut langsung oleh Ketua DPRD Provinsi Jambi, Edi Purwanto. Terlihat juga puluhan pihak kepolisian berjaga-berjaga didepan gedung DPRD.(*/ARIE)

Editor: Andri Damanik




Komentar Anda



Terkini Lainnya

Gubernur Al Haris Sebut Sekoja Kota Santri

JAMBI - Gubernur Jambi Dr. H. Al Haris, S.Sos, MH, menyebut Seberang Kota Jambi (Sekoja) sebagai Kota Santri. Sekoja sudah dikenal semenjak dulu, karena seberan

Advertorial

PAMSIMAS di Desa Lubuk Terentang Hanya Difungsikan Saat Kemarau

TANJABBAR - Bangunan Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) III yang berada di RT 03, Dusun Kampung Baru, Desa Lubuk Terentang

Berita Daerah

Gubernur Jambi Beri Penjelasan Atas Capaian Pembangunan kepada Dewan

JAMBI - Gubernur Jambi Dr. H. Al Haris, S.Sos, MH menyampaikan bahwa sebagai Penyelenggara Pemerintahan sudah menjadi kewajiban memberikan penjelasan kepada Dew

Advertorial

Wagub Sani Harap GP Ansor Perkuat Sinergi Bersama Pemerintah Daerah

JAMBI - Wakil Gubernur Jambi Drs. H. Abdullah Sani, M.Pd.I berharap Gerakan Pemuda (GP) Ansor dapat memperkuat sinergitas dengan pemerintah daerah untuk keberla

Advertorial

Kukuhkan Gugus Tugas Bisnis dan HAM Provinsi Jambi, Al Haris : Memperkuat Sinergisitas Lembaga

JAMBI - Pemerintah Provinsi Jambi melaksanakan Pengukuhan Gugus Tugas Daerah Bisnis dan Hak Asasi Manusia (HAM) Provinsi Jambi, bertempat di Auditorium Rumah Di

Advertorial


Advertisement