HALOSUMATERA.COM- Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi merilis, bahwa mereka telah menangani konflik antara hewan liar dan manusia sebanyak 72 kali di Tahun 2020.
Puluhan konflik ini sebagian besar dipicu oleh kondisi habitat dan ekosistem yang sedang terganggu.Konflik yang ditangani BKSDA Jambi,19 di antaranya melibatkan seekor Harimau Sumatera (Phantera Tigris Sumateranus).
Salah satu konflik dengan Harimau Sumatera menyebabkan 2 orang meninggal dunia. Konflik ini terjadi pada tanggal 1 sampai tanggal 7 Januari 2020 di Kecamatan Muara Enim, Sumatera Selatan.
Konflik antara Harimau Sumatera dan manusia di Jambi sepanjang tahun 2020 ini tidak menimbulkan orang meninggal dunia, walaupun sebagian besar terjadi di daerah tersebut.
Sementara konflik yang melibatkan seekor Gajah Sumatera (Elephas Maximus Sumatranus) yang ditangani BKSDA Jambi berjumlah 27 kasus. Konflik ini menimbulkan kerusakan lahan perkebunan, seperti yang terjadi di Kecamatan Batang Asam, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, pada tanggal 12 Januari tahun 2020.
Bahkan, pada tanggal 3 sampai tanggal 5 September tahun 2020, juga terjadi konflik yang melibatkan Gajah Sumatera di sekitar Kecamatan Mandi Angin, Kabupaten Sarolangun.
Beruang Madu pun turut terlibat dalam konflik bersama manusia. Ada 17 konflik yang melibatkan seekor Beruang Madu (Helarctos Malayanus) yang ditangani BKSDA Jambi. Walaupun tidak menimbulkan korban manusia, konflik ini sudah menyebabkan kerusakan beberapa unit tempat madu dan dimakannya hewan ternak.
Disampaikan oleh Koordinator Polisi Kehutanan BKSDA Jambi, Jefrianto, dari puluhan konflik tersebut sebagian besar terjadi di Kabupaten Kerinci, sekitar Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
"Ada harimau dan beruang di sana. Karena kekurangan makanan, mereka keluar. Dari sana terjadilah konflik," ujarnya, Kamis (04/02/21).
Selain ketiga hewan tersebut, BKSDA Jambi sepanjang tahun 2020, juga menangani konflik yang melibatkan Kera Ekor Panjang (Macaca Fascicularis) yang terjadi sebanyak 2 kasus. Ada pula yang melibatkan Macan Dahan, yakni sebanyak 1 kasus.
Ada juga konflik yang melibatkan Buaya Muara (Crocodillus Porosus) sebanyak 4 kali dan Buaya Senyulong (Tomistoma Schlegelii) sebanyak 2 kali. Beruntungnya, konflik dengan Buaya ini tidak menyebabkan orang meninggal dunia.
Tetapi konflik dengan kedua jenis Buaya tersebut cukup meresahkan. Apalagi ada yang masuk di tempat pemandian umum.
Jefrianto menyebutkan puluhan konflik ini mengindikasikan habitat untuk hewan liar sedang terancam atau mulai mengalami kerusakan. Ancaman itu, juga disebabkan perkembangan permukiman dan aktifitas perekonomian sekitar habitat para hewan liar. Tidak heran, para satwa liar justru memasuki permukiman warga untuk mencari makan.
"Habitat mereka bisa dikatakan mulai rusak, mau tidak mau para hewan dan hewan jadi berkonflik," ungkapnya.
Sementara itu, Kepala BKSDA Jambi, Rahmad Saleh mengingatkan jangan sampai masyarakat umum dan awak media membentuk prasangka buruk kepada hewan liar. Para hewan liar sejatinya hidup bukan untuk berkonflik dengan manusia. Masalahnya, habitat mereka sedang terancam, sehingga terjadilah konflik.
"Bahwasanya satwa liar bukan untuk berkonflik dengan masyarakat. Satwa liar bisa hidup berdampingan dengan manusia," tandasnya. (*/eko)