PSIKOLOGI TAPANULI TENGAH DAN SIBOLGA DALAM PEMBENTUKAN PROVINSI TAPANULI


Minggu, 08 November 2020 - WIB - Dibaca: 3953 kali

Agus Sihite(*/dok.Pribadi) / HALOSUMATERA.COM

Oleh: Agus Sihite - Penulis Opini Aktif
Kelahiran Tapanuli Tengah, 1971
Domisili Singapura

“Tapanuli Peta Kemiskinan”, pernah jadi berita Nasional di tahun 80-an. Dengan laporan jurnalisme tiga wartawan Sinar Harapan, Harian Nasional yang memberitakan keadaan Tapanuli saat itu setelah melakukan peliputan dari seluruh daerah di Tapanuli, sempat membuat panas telinga pejabat Provinsi Sumatera Utara dan membuka mata pemerintah pusat dan masyarakat umum.

Mungkin berita itu tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan keseharian masyarakat yang tinggal di Tapanuli saat itu, karena kehidupan tetap sama. Masa kecil saya tidak juga merasakan itu walau sayup-sayup mengingat berita itu. Seniman Batak sampai menggubah lagu, setidaknya dua lagu yang saya tahu tentang kemiskinan dan Provinsi Tapanuli ketika itu.

Inilah titik kesadaran akan ketertinggalan Tapanuli dimasa pembangunan orde baru. Di jaman sebelumnya, jaman kolonial sebagai bangsa terjajah hingga di jaman orde lama dengan PRRI juga merupakan titik kesadaran rakyat Tapanuli untuk bangkit, terlepas dari unsur politik yang mengikutinya, namun diyakini memiliki tujuan mulia untuk lebih maju.

Tapanuli secara historis pada jaman Pemerintahan Hindia Belanda dibentuk sebagai wilayah pemerintahan setingkat keresidenan, bernama Residente Van Tapanuli. Dalam sejarahnya nama Tapanuli muncul sebagai nama pemersatu puak-puak yang berasal dari suku yang sebenarnya adalah berakar sama, suku Batak, dimana nama Batak tidak diterima semua puak saat itu, karena kesan buruk. Tapanuli berasal dari tiga kata, Tapian Na Uli yang awalnya meliputi daerah pantai barat membujur dari Natal, Sibolga hingga Barus. Kemudian wilayah dataran tinggi tanah Batak masuk dalam keresidenan Tapanuli.

Penerimaan nama Batak sebagai suku bangsanya mestinya tidak lah perlu diperdebatkan, karena dari sisi keilmuan, antropologi dan fakta sudah jelas adanya sebagai suku Batak, terlepas itu diterima atau tidak. Saya bahkan menamakan lebih dalam pada kartu identitas pilihan ras sebagai ras Batak.

Jaman Hindia Belanda, Karesidenan Tapanuli berpusat di Sibolga. Ini tidak terlepas dari kota Sibolga daerah yang lebih maju dan mendukung sebagai pusat pemerintahan saat itu. Terakhir tercatat saat kemerdekaan, Keresidenan Tapanuli meliputi daerah Tapanuli Selatan (sekarang: Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing-Natal), Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara (sekarang: Tapanuli Utara, Dairi, Pakpak Barat, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan) dan Nias (sekarang: Nias, Nias Selatan, Nias Barat, Nias Utara). Keresidenan Tapanuli sebagai wilayah administrasi sejak jaman Hindia Belanda telah ditandai dengan perbedaan tanda nomor kenderaan bermotor (TNKB), dengan plat BB.

Dengan adanya titik kesadaran untuk lebih maju di jaman orde baru, sekelompok masyarakat Tapanuli menggagas dibentuknya provinsi sendiri lepas dari Provinsi Sumatera Utara. Karena diyakini dengan rentang kendali pemerintah provinsi hingga mencakup seluruh wilayah Tapanuli dirasa terlalu jauh. Dari ibukota provinsi hingga daerah terjauh di Mandailing-Natal paling sedikit memakan waktu 10 jam perjalanan darat. Ketimpangan pembangunan antara Sumatera Timur dan Tapanuli juga sangat nyata. Kondisi jalan, sarana pendidikan, kondisi sosial, dan infrastruktur lain sangat tertinggal.

Kelompok penggagas provinsi awalnya berasal dari pelbagai latar belakang dan ketokohan. Dan rasanya semua bekas Keresidenan Tapanuli tidak keberatan, bahkan Nias ikut mendukung saat itu. Tetapi belakang hari para tokoh pengusul pembentukan provinsi dirasa tidak lagi inklusif, terutama setelah reformasi. Inilah awal jalan terjal. Jalan yang ditempuh dengan pengusulan dari DPRD provinsi induk kelihatan lebih sulit. Hingga berujung unjuk rasa besar di Gedung DPRD provinsi dan meninggalnya ketua DPRD karena serangan jantung tahun 2009 itu, Azis Angkat asal Pakpak, Dairi.

Sejak saat itu semua sejenak terdiam dan sebagian merasa dipojokkan dengan segala stigma demonstrasi rusuh. Keadaan ini tidak mudah. Tokoh unjuk rasa telah mendapat tuntutan hukum dan menjalaninya termasuk Chandra Panggabean, putra GM Panggabean tokoh yang sejak awal aktif mempelopori pembentukan Provinsi Tapanuli dan sejak awal menyoroti keterbelakangan Tapanuli melalui surat kabar miliknya.

Setelah beberapa tahun kemudian pengusulan melalui jalan lain dengan langsung mengusulkan ke DPR pusat untuk dimasukkan dalam daftar pembahasan. Rasanya hingga saat ini tinggal menunggu pembahasan tentunya setelah moratorium pemekaran dicabut, namun dengan daerah Tapanuli pengusul yang tidak lagi utuh. Daerah tidak utuh ini sangat disesalkan dan akan mengandung benih-benih kegagalan.

Kegagalan pengusulan di tahun 2009, harusnya jadi bahan introspeksi. Usulan pembentukan Provinsi Tapanuli yang dirasa terlalu ekslusif didominasi oleh sekelompok orang dan tidak lagi mengindahkan daerah lain di Tapanuli, adalah sumber masalah. Sejatinya usulan ibukota provinsi baru juga harus melalui pertimbangan.

Dari awal, kota Sibolga adalah yang paling layak. Saya tidak melihat hanya kepantasan secara infrastruktur tapi faktor sosio kultural. Secara umum Kota Sibolga dan Tapanuli Tengah lebih majemuk dari segi suku, agama, walaupun suku Batak masih terasa dominan. Di sana berdiam suku Batak, Pesisir, Nias, Minang, Jawa, Tionghoa, Aceh, Bugis dll. Kerukunan tetap terjaga sejauh ini, walaupun tantangan nya juga tetap ada termasuk adanya penyebaran paham radikal global. Agama besar seperti Kristen, Katolik, Islam, Buddha hidup berdampingan, rumah ibadahnya mudah ditemukan. Adat Batak juga masih banyak dijalankan tanpa memandang agama, tentunya dengan penyesuaian di sana sini.

Saya masih ingat sewaktu krisis besar HKBP, gereja di daerah Sibolga dan Tapanuli Tengah tidak sampai terpengaruh sampai terpecah. Ini tidak terlepas dari keadaan sosial masyarakatnya dan ini modal besar dalam kohesifitas masyarakat menerima keterbukaan.

Pemekaran yang Gagal

Seandainya keadaan sosiologi Sibolga dan Tapanuli Tengah ini jadi pertimbangan, daerah lain seperti Nias dan Tapanuli bagian Selatan pasti akan terakomodasi dengan mudah. Saya juga tidak habis mengerti mengapa usulan ibukota di Siborong-borong menjadi lebih kuat. Tidak bisa juga disebutkan daerah itu tepat di tengah-tengah jika melihat rentang Tapanuli sampai ke Mandailing-Natal. Bagaimana mungkin tokoh seperti GM Panggabean luput dari faktor pemersatu ini, dia sebagai tokoh kelahiran Sibolga mesti sangat paham sosiologi dan psikologi masyarakat Tapanuli secara umum. Bahkan dengan pertimbangan ini Sipirok juga layak demi inkusifitas Tapanuli. Sangat janggal jika Provinsi Tapanuli terbentuk namun ada daerah dengan nama Tapanuli lainnya yang berada di provinsi lain. Saya tidak mengatakan ini masalah agama, ini adalah masalah keadilan. Bagaimana kita melihat kelak akan ada keadilan jika sekarang terlihat tidak ada saling pengertian.

Tiadalah guna mempertahankan ego. Karena kalau hanya melihat syarat minimum jumlah daerah pembentukannya niscaya tujuan tidak akan mutlak tercapai. Bayangkan saat ini rumor usulan nya berubah jadi hanya daerah Tapanuli Utara, Samosir, Toba Samosir dan Humbang Hasundutan, dan mungkin ikut Dairi, Pakpak Barat dengan menggunakan nama Provinsi Tapanuli, terasa janggal. Dengan sumber daya pertanian, industri pabrik pulp, pariwisata, PLTA dan PLTP Sarulla, sudah memadai kah?

Sekarang saat yang sama Nias juga sedang menunggu pembahasan, apakah kelayakannya sudah dipertimbangkan? Tentunya dari jumlah daerah sudah memenuhi syarat. Tapi coba dilihat faktor lain, jangan sampai menambah daftar daerah pemekaran yang gagal, yang konon mencapai 80 persen sejauh ini.

Tapanuli bagian Selatan juga sedang menyusun rencana dan akan mengusulkan pembentukan Sumatera Tenggara yang meliputi daerah Tapanuli Selatan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, Mandailing-Natal dan Kota Padang Sidimpuan. Lagi-lagi dari syarat jumlah juga sudah memenuhi.

Kalau masih mau mengusulkan Provinsi Tapanuli secara inklusif hendaknya dengan merangkul tokoh-tokoh dari daerah dan pusat yang lebih beragam latar belakang. Tokoh yang ada dipemerintahan dan parlemen mestinya bisa lebih berperan.

Jend (Purn) Luhut B. Panjaitan, Prof. Yasonna Laoly (orang Nias kelahiran Sibolga) bisa sebagai fasilitator dengan mengajak Ir. Akbar Tanjung dan tokoh lain yang masih kuat mengakar di daerahnya termasuk tokoh ulama dari Tapanuli bagian Selatan. Kepala daerah dan anggota DPRD yang masih menjabat seperti Walikota Sibolga dan Bupati Tapanuli Tengah hendaknya bisa berperan aktif menjalin komunikasi dengan daerah lain termasuk kepala daerah Tapanuli bagian Selatan dalam hal ini.

Keadaan ini tidak mudah buat masyarakat Tapanuli Tengah dan Sibolga, dilematis, saya bisa merasakannya. Beberapa kali telah terjadi unjuk rasa penolakan oleh masyarakatnya. Bahkan Walikota Sibolga juga tidak secara jelas mendukung. Tetapi seandainya propinsi Tapanuli yang tidak utuh sebagai Tapanuli tetap terbentuk dengan ketiadaan kata sepakat, mungkin menjadi nama lain seperti rumor beredar, bisa dengan Provinsi Danau Toba dll. bagaimana dengan Tapanuli Tengah dan Sibolga? Skenario yang mungkin ditempuh, dengan catatan Tapanuli Tengah dan Sibolga tetap satu posisi karena tidak mungkin beda provinsi:

-           Tetap di provinsi induk

-           Bergabung dengan rencana provinsi baru Sumatera Tenggara (Tapanuli bagian Selatan)

-           Bahkan juga mungkin bergabung dengan rencana provinsi baru, Nias.

Sebetulnya Sibolga sebagai kota sangat terbatas wilayah administrasinya. Ibukota provinsi baru, bisa diusulkan Sibolga dengan mengambil daerah Tapanuli Tengah sebagai perluasan, bisa meliputi Poriaha, Sarudik, Kecamatan Sibuluan bahkan Kecamatan Tukka.

Tapanuli Tengah dan Sibolga bisa tetap bisa lebih maju tanpa provinsi baru dengan pengelolaan yang benar. Potensi daerah ini cukup besar untuk dikembangkan. Pertanian, perkebunan, perikanan, jasa, pariwisata dan industri. Sebagai kota pelabuhan Sibolga tetap jadi pintu logistik buat pulau Nias. Konsesi tambang dan logistik tambang, perkebunan dan energi terbarukan.

Pariwisata masih potesial dikembangkan, wisata gugusan pulau yang indah mirip Halong Bay atau Phi Phi island, pengembangan Pantai Pandan dan Pantai Kalangan yang lebih berkelas, Kota Pandan sebagai kota wisata dengan jalan-jalan boulevard.

Lembaga Pendidikan khusus sangat layak di buka seperti Institut Pertanian atau Perikanan.

Kawasan Industry Poriaha saatnya untuk dikembangkan yang waktu jaman Tuani L.Tobing pernah mencanangkan Tapanuli Growth.

Rencana jalan tol lintas Sumatera sirip Sibolga tetap jadi bagian penentu pengembangan konektifitas dari pantai timur hingga lintas pantai barat sampai ke Padang dalam jangka menengah.

==HORAS==




Komentar Anda



Terkini Lainnya

Polda Jambi Undang Para Tokoh Agama di Rumah Kebangsaan Siginjai

JAMBI - Polda Jambi melalui Direktorat Intelkam Polda Jambi mengundang para tokoh agama di Provinsi Jambi di Rumah Kebangsaan Siginjai Provinsi Jambi, Selasa si

Berita Daerah

Perusahaan Pinang Ini Bangun Masjid untuk Karyawan dan Warga sekitar

TANJAB BARAT - PT Bintang Selamanya yang beroperasi di Desa Tungkal I Kecamatan Tungkal Ilir memberikan sumbangsih dengan membangun Masjid di wilayah Desa Tungk

Berita Daerah

Bupati Anwar Sadat Tinjau Pos PAM Lebaran di Desa Pematang Lumut, Pastikan Kesiapan Arus Mudik

TANJABBAR - Bupati Tanjung Jabung Barat, Drs. H. Anwar Sadat, M. Ag., meninjau Pos Pengamanan (PAM) Lebaran di Desa Pematang Lumut, Kecamatan Betara, pada Sabtu

Advertorial

Bupati Tanjabbar Bersama PT JBS dan PT TJP Salurkan Bantuan untuk Anak Yatim Piatu dan Kaum Duafa

TANJABBAR - Bupati Tanjab Barat, Drs. H. Anwar Sadat, M.Ag bersama PT. Jabung Barat Sakti dan PT. Tanjung Jabung Power menyalurkan santunan kepada 30 anak yatim

Advertorial

Wabup Hairan Gelar Buka Puasa Bersama Awak Media dan HMI Cabang Tanjung Jabung Barat

TANJABBAR - Di penghujung bulan suci Ramadhan 1445 Hijriah, Wakil Bupati Kabupaten Tanjung Jabung Barat, H. Hairan, SH., menyelenggarakan buka puasa bersama (bu

Advertorial


Advertisement